ENCIKEFFENDYNEWS.com

Lailatul Qadr itu artinya adalah malam kemuliaan, karena pada malam itu diturunkan al-Qur’an, wahyu Allah yang berisikan petunjuk dan pedoman untuk keselamatan dan kesejahteraan hidup manusia dunia dan akhirat. Lailatul Qadr itu sendiri berdasarkan nash yang qath’i terjadi dalam bulan Ramadhan sebagaimana tersirat dari firman Allah SWT: “Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). (QS.Al-Baqarah: 185)

Hanya saja pada malam ke berapa terjadinya, Ibnu Hajar al-Asqallani dalam kitab Fathul Bari menyalinkan tidak kurang dari 45 qaul tentang malam kejadiannya, sejak dari yang meriwayatkan terjadinya pada malam pertama Ramadhan sampai yang meriwayatkan terjadinya pada malam ke 29 atau ke 30 nya. Rasulullah saw sendiri dalam hadits Bukhari yang dirawikan oleh Abu Said al-Khudri, menyatakan lupa tentang malam ke berapa yang tepat. Oleh sebab itu dianjurkannya supaya setiap malam bulan Ramadhan itu diramaikan dan diisi penuh dengan ibadah.

Namun dari semua itu riwayat yang kuat adalah, Lailatul qadr itu ialah malam ke sepuluh yang akhir dari Ramadhan, karena sejak malam ke 21 Rasulullah saw lebih mempergiat ibadahnya dari malam-malam sebelumnya, sampai disebutkan bahwa beliau mengencangkan ikat pinggangnya dan membangunkan keluarganya.

Satu riwayat dari as-Suyuti yang dikuatkan oleh Syaikh Khudari guru besar Fuad University di tahun 1922, bahwa jatunya Lailatul Qadr itu pada malam 17 Ramadhan. Mereka mengistimbathkan hal ini dari firman Allah SWT “…dan apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, Yaitu di hari bertemunya dua pasukan….”. (QS.Al-Anfaal: 41).

Furqaan Ialah: pemisah antara yang hak dan yang batil. yang dimaksud dengan hari Al Furqaan ialah hari jelasnya kemenangan orang Islam dan kekalahan orang kafir, Yaitu hari bertemunya dua pasukan di peprangan Badar, pada hari Jum’at 17 Ramadhan tahun ke 2 Hijriah. sebagian mufassirin berpendapat bahwa ayat ini mengisyaratkan kepada hari permulaan turunnya Al Quranul Kariem pada malam 17 Ramadhan.

Perbedaan pendapat para ulama ini berdasarkan ijtihad mereka masing-masing, jadi bukan suatu nash qath’i yang harus dipegang teguh, sebab Rasulullah saw sendiri menganjurkan untuk mempergiat ibadah itu pada 10 yang akhir dari Ramadhan, dan bukan pada malam 17 Ramadhan.

Bahkan menurut pendapat al-Hafizh Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bari, bahwa sebagian ulama berpendapat bahwa malam lailatul Qadr itu sebenarnya hanya satu kali saja, yaitu  ketika ayat al-Qur’an pertama kali diturunkan. Adapun Lailatul Qadr yang kita peringati  dengan memperbanyak amal pada malam-malam tersebut adalah untuk memperkuat ingatan kita kepada turunnya al-Qur’an, karena sudah jelas terjadinya dalam bulan Ramadhan.

Justru kita hidupkan malam-malam Ramadhan itu dengan mempergiat ibadah adalah untuk mengambil barokah serta memperbanyak syukur kepada Allah SWT yang telah menurunkan al-Qur’an sebagai pedoman dan pegangan hidup manusia agar selamat dunia dan akhirat.

ENCIKEFFENDYNEWS.com

Rasulullah SAW menegaskan, “Bulan Ramadhan adalah bulan memberikan pertolongan” (HR Ibnu Khuzaimah). Ramadhan secara etimologis artinya panas terik. Dan bulan Ramadhan, demikian orang Arab menamakan, adalah bulan yang musim gurun pasir sedang panas teriknya. Pada bulan ini, Allah SWT mewajibkan orang-orang mukmin berpuasa agar menjadi orang yang bertakwa.

Pada bulan ini kaum Muslimin secara riil merasakan apa yang biasa dialami oleh kaum dhuafa, yakni lapar dan haus. Bedanya, kaum fakir miskin biasa kelaparan karena memang tidak ada yang dimakan dan diminum. Tetapi, kita sengaja berlapar-lapar (sekalipun memiliki makanan yang cukup) karena menjalankan perintah dan syariat Allah SWT demi menggapai pahala dan ridha-Nya.

Dalam dimensi sosial, kita dilatih untuk memiliki jiwa solidaritas dan kepedulian sosial, khususnya kepada kaum dhuafa. Pernah seorang ulama salaf ditanya, mengapa disyariatkan puasa? Dia menjawab, “Supaya orang kaya bisa merasakan bagaimana rasanya lapar, agar tidak melupakan orang yang lapar.”

Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah beriman kepadaku (diulang tiga kali), orang yang tidur kekenyangan di malam hari, padahal tetangganya dalam keadaan lapar sementara dia tahu keadaan itu.”

Ini adalah bulan solidaritas kaum Muslimin terhadap kaum dhuafa. Di samping merasakan lapar dan haus yang sama, kita juga disunahkan memberi makan orang yang berpuasa, khususnya fakir miskin.

ENCIKEFFENDYNEWS.com

Ternyata bukan hanya umat Muhammad yang berpuasa. Sejarah mencatat, sebelum kedatangan Muhammad, umat Nabi yang lain diwajibkan berpuasa. Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, sejak Nabi Nuh hingga Nabi Isa puasa wajib dilakukan tiga hari setiap bulannya. Bahkan, nabi Adam alaihissalam diperintahkan untuk tidak memakan buah khuldi, yang ditafsirkan sebagai bentuk puasa pada masa itu. “Janganlah kamu mendekati pohon ini yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim”. (Al-Baqarah: 35).

Begitu pula nabi Musa bersama kaumnya berpuasa empat puluh hari. Nabi Isa pun berpuasa. Dalam Surah Maryam dinyatakan Nabi Zakaria dan Maryam sering mengamalkan puasa. Nabi Daud alaihissalam sehari berpuasa dan sehari berbuka pada tiap tahunnya. Nabi Muhammad saw sendiri sebelum diangkat menjadi Rasul telah mengamalkan puasa tiga hari setiap bulan dan turut mengamalkan puasa Asyura yang jatuh pada hari ke 10 bulan Muharram bersama masyarakat Quraisy yang lain. Malah masyarakat Yahudi yang tinggal di Madinah pada masa itu turut mengamalkan puasa Asyura.

Begitu pula, binatang dan tumbuh-tumbuhan melakukan puasa demi kelangsungan hidupnya. Selama mengerami telur, ayam harus berpuasa. Demikian pula ular, berpuasa baginya untuk menjaga struktur kulitnya agar tetap keras terlindung dari sengatan matahari dan duri hingga ia tetap mampu melata di bumi. Ulat-ulat pemakan daun pun berpuasa, jika tidak ia tak kan lagi menjadi kupu-kupu dan menyerbuk bunga-bunga.

Jika berpuasa merupakan sunnah thabi’iyyah (sunnah kehidupan) sebagai langkah untuk tetap survive, mengapa manusia tidak? Terlebih lagi jika kewajiban puasa diembankan kepada umat Islam, tentu saja memikili makna filosofis dan hikmah tersendiri. Karena, ternyata puasa bukan hanya menahan dari segala sesuatu yang merugikan diri sendiri atau orang lain, melainkan merefleksikan diri untuk turut hidup berdampingan dengan orang lain secara harmonis, memusnahkan kecemburuan sosial serta melibatkan diri dengan sikap tepa selira dengan menjalin hidup dalam kebersamaan, serta melatih diri untuk selalu peka terhadap lingkungan. Rahasia-rahasia tersebut ternyata ada pada kalimat terakhir yang teramat singkat pada ayat 183 surah al-Baqarah. Allah swt memerintahkan: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa”. (QS. Al-Baqarah: 183).

Allah swt mengakhiri ayat tersebut dengan “agar kalian bertakwa”. Syekh Musthafa Shodiq al-Rafi’ie (w. 1356 H/1937 M) dalam bukunya wahy al-Qalam mentakwil kata “takwa” dengan ittiqa, yakni memproteksi diri dari segala bentuk nafsu kebinatangan yang menganggap perut besar sebagai agama, dan menjaga humanisme dan kodrat manusia dari perilaku layaknya binatang. Dengan puasa, manusia dapat menghindari diri dari bentuk yang merugikan diri sendiri dan orang lain, sekarang atau nanti. Generasi kini atau esok.