ENCIKEFFENDYNEWS.com
Dalam kitabnya yang masyhur Ihya ‘Ulumuddin, Imam Al Ghazali mengisahkan bahwa Sahal bin Abdullah al Tusturi berkata, “Ketika aku masih berusia tiga tahun, aku pernah bangun malam. Ketika itu aku melihat pamanku, Muhammad bin Siwar, tengah melakukan shalat.”
Pada suatu hari, ia berkata kepadaku,”Apakah engkau mengingat Allah yang telah menciptakanmu?” Aku menjawab, “Bagaimana aku mengingatNya? Ia berkata, “Ucapkanlah dengan hatimu ketika engkau berbolak-balik ditempat tidurmu sebanyak 3x tanpa menggerakkan lisamu, Allah bersamaku, Allah melihatku, Allah menyaksikanku.”
Aku melakukannya selama beberapa malam, lalu aku melaporkannya kepada pamanku. Ia kemudian berkata, “Ucapkanlah itu sebanyak 7x setiap malam.” Aku melakukan hal itu dan kemudian menceritakan padanya. Lalu ia menyuruhku untuk memperbanyak bilangannya menjadi 11x pada setiap malam. Aku lalu mengucapkannya, sehingga aku merasakan manisnya ucapan itu dalam hatiku.”
Selang satu tahun pamanku berkata kepadaku,”Hafalkanlah apa yang telah kuajarkan kepadamu, biasakanlah mengucapkannya sampai engkau masuk kubur. Karena perbuatan ini akan bermanfaat bagimu dunia dan akhirat.”
Sahal melanjutkan ceritanya,”Untuk beberapa tahun lamanya aku selalu membiasakan diri mengucapkannya, hinggaaku merasakan manisnya perbuatan itu di dalam kalbuku.” Kemudian pada suatuhari, pamanku berkata lagi padaku,”Hai Sahal, sesungguhnya orang yang merasa selalu disertai Allah, dilihat dan disaksikanNya tidaklah akan berbuat maksiat kepadaNya. Maka jauhilah perbuatan maksiat.”
Cara Muhammad bin Siwar mendidik keponakannya ini sungguh bernilai tinggi. Ketika keponakannya masih balita, beliau memberi keteladanan secara nyata, sehingga tidaklah Sahal terbangun pada malam hari selain mendapatkan pamannya tengah khusyu menegakkan shalat.
Lisannya pun demikian bermutu, sehingga petuahnya merupakan petuah yang amat mulia. Demikian mulianya keteladanan dan nasihat yang diberikannya, sehingga mampu menerangi pribadi Sahal dari balita yang masih polos hingga tumbuh menjadi pemuda yang shaleh dan berilmu. Bukankah tak ada warisan dan wasiat yang lebih bermanfaat dan menenangkan jiwa bagi orangtua kecuali keimanan dan ilmu yang akan terus mendekatkan diri anaknya kepaa Robbnya?
Sementara para masa kini semakin banyak orangtua yang lupa menjadikan dirinya sebagai contoh, terutama dalam hal menjadikan Allah sebagai pengawas utama perilaku sehari-hari. Rasa takut yang diajarkan pertama adalah rasa takut kepada orang tua, hantu dan binatang. Cinta utama yang diajarkannya sejak awal adalah cinta kepada manusia. Sebaliknya, rasa khouf (takut) dan hubb (cinta) kepada Allah merupakan suatu perasaan langka dan bahkan aneh ditelinga anak-anak.
Alangkah indahnya, jika didalam hati para balita kita sejak dini sudah tertanam kalimat, “aku tidak mau melakukan ini karena Allah bakal tidak ridho padaku, Allah bakal tak sayang padaku.” Pribadi seperti ini dapat dipastikan akan tumbuh menjadi manusia-manusia yang disebut Allah Ulil Albab, yang akan selalu mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk, maupun berbaring (Surat Ali Imran: 191). Jika sudah terbentuk pribadi yang demikian, lewat jalan mana lagi setan akan membisikannya? Wallahu a’lam bisshowwab.