ENCIKEFFENDYNEWS.com
Sesungguhnya jabatan itu amanah. Sesungguhnya pada hari kiamat ia menyebabkan kehinaan dan penyesalan kecuali bagi orang yang dapat mengembangkan dengan baik dan menunaikan tugas amanahnya itu (HR Muslim).
Sahabat Nabi Abu Dzar Al Ghifary, bertanya kepada Nabi, mengapa ia tidak diangkat beliau untuk sesuatu jabatan. Jawaban Nabi adalah hadist yang di atas, seperti yang dikutib Syekh Ahman al Basyuni dalam kitab syarah hadisnya, Qabasaat min al Sunnah al Nabawiyyah (Cuplikan Sunnah Nabi Muhammad Saw).
Makna yang terkandung dalam hadist Nabi tersebut akan membentuk persepsi seseorang mengenai jabatan. Jabatan adalah suatu kemuliaan, sebab jabatan adalah amanah atau kepercayaan. Apabila seseorang diberi jabatan pada hakikatnya ia dipercaya dank arena itu ia dimuliakan. Tapi, amanah juga adalah tanggungjawab untuk melaksanakan dengan baik seluruh tugas yang ada dalam kewenangan jabatan tersebut. Bila hal itu tidak dipenuhi dengan baik, apalagi bila disalahgunakan, maka dihari kemudian ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan.
Sebenarnya cukup bukti menunjukkan, mereka yang pernah menyalahgunakan jabatan, sudah merasakan kesedihan dan penyesalan itu di dunia. Mungkin kesedihan dan penyesalan akibat ia dihukum karena terjerat oleh hukum manusia. Mungkin kesedihan dan penyesalan yang dipendamnya sendiri akibat “hukuman” hati nuraninya.
Tapi sayang, kebanyakan manusia dewasa ini, tidak berpikir panjang berkenaan dengan jabatan. Yang terbayang dibalik jabatan hanyalah kemuliaan dan segala fasilitas yang bisa dinikmati karenanya. Fasilitas tersebut ada yang memang menurut aturan bisa diperolehnya karena jabatan itu. Ada pula “fasilitas” yang diperolehnya dengan pemanfaatan yang salah, misalnya dengan cara kolusi atau korupsi.
Banyak orang tergiur akan jabatan. Banyak kenyataan menunjukkan bahwa tak lama setelah seseorang memegang suatu jabatan, kehidupan materialnya segera meningkat. Itulah sebabnya jabatan menjadi sesuatu yang diperebutkan.
Di suatu negara yang ketegasannya dalam menindak penyalahgunaan jabatan rendah, akan tercipta budaya memperkaya diri melalui jabatan. Semakin menjadi-jadilah perlombaan dalam memperebutkan jabatan. Yang aneh adalah bila gejala seperti itu ditunjukkan oleh orang-orang yang mengaku dirinya beriman. Hadist Nabi di atas mengingatkan bahwa jabatan akan menjadi kehinaan dan penyesalan abadi apabila tidak dilaksanakan dengan baik dan jujur.
Makna hadist Nabi itu memang hanya bisa dihayati dan dipedulikan oleh orang yang beriman. Hadist tersebut bisa dijadikan sebagai salah satu “alat ukur” keimanan pada diri sendiri. Adakah seseorang beriman jika pada saat yang sama berebut jabatan dengan pamrih keuntungan?