ENCIKEFFENDYNEWS.com
Labbaikallahuma labbaik
Labbaika laa syarika laka labbaik
Innalhamda wanni’mata laka walmulk, laa syarikalak
Bacaan talbiyah tersebut di atas merupakan sesuatu yang khas dalam ibadah haji. Bacaan ini tiada henti-hentinya dikumandangkan jemaah haji, mengiringi setiap langkah pelaksanaan manasik haji. Gema dan suara talbiyah yang terus mengalir berkumandang bersahut-sahutan, bukan hanya indah ditelinga, tapi juga menyentuh dan menggetarkan tali jiwa dan religius kaum beriman.
Apalagi saat seperti sekarang ini, calon haji kita sudah mulai berangkat meninggalkan tanah air menuju tanah harmain (kota suci Mekkah dan Madinah).
Secara harfiah, ungkapan labbaik ini berarti aku penuhi panggilanMu, Tuhan! Menurut Muhammad Ghazali (Ulama Mesir Kontemporer) dalam kalimat talbiyah itu terkandung dua makna yang amat dalam. Pertama, merupakan jawaban terhadap undangan Nabi Ibrahim AS, ketika ia berseru kepada umat manusia agar menunaikan ibadah haji. (QS Al Hajj: 27). Kedua merupakan pernyataan dan deklarasi tauhid. Sebagai deklarasi tauhid, talbiyah merupakan ekspresi dan manifestasi dari ketundukan manusia secara tulus kepada Allah Swt (kitab Hadza Dinuna, 126).
Ini berarti, kalimat talbiyah itu sendiri semakna dengan komitmen Nabi Ibrahim dalam Al Qur’an ketika ia berkata, “Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang hanif (benar) dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” (QS. Al An’am: 78).
Maka kalimat talbiyah berarti sebagai komitmen para Hujjaj untuk meneruskan perjuangan Nabi Ibrahim dan Ismail dalam mengenyahkan kemusyrikan dalam segala bentuk dan manifestasinya.
Para Hujjaj dengan talbiyah yang terus mengalir, sesungguhnya sedang mengidentifikasi diri dalam sebuah komunitas yang seluruhnya tunduk dan patuh kepada Allah Swt. Tak ada ucapan dan kata-kata di situ selain takbir dan tahmid.
Dalam suasana seperti itu, sesungguhnya para Hujjaj secara spiritual telah tenggelam dalam realitas mutlak (fana’fillah) yang membuat mereka merasakan suatu tingkat kebahagiaan yang tak mungkin lagi dilukiskan dengan kata-kata. Talbiyah dengan pelaksanaan ibadah haji dapat disebut sebagai perjalanan suci bagi setiap muslim.
Dalam satu Hadist Rasul Saw bersabda, “tidak ditekankan untuk bepergian kecuali tiga masjid, yaitu Masjidil Haram, masjidku ini (masjid Nabawi) dan masjid Al Aqsha” (HR Bukhari dan Muslim).
Ibadah haji merupakan ibadah yang paling akhir diwajibkan oleh Allah Swt setelah shalat, zakat, dan puasa. Menurut jumhur ulama, haji diwajibkan oleh Allah pada tahun ke 9 Hijriah. Pada tahun itu kaum Muslimin untuk pertama kalinya menunaikan ibadah dengan Abu Bakar Siddiq bertindak sebagai Amirul Haj. Rasul Saw sendiri melakukan pada tahun berikutnya. (Rasyid Ridha, tafsir Al Manar 2/220).
Ibadah haji, seperti halnya semua ibadah dalam Islam, mengandung ajaran moral yang amat tinggi dan luhur. Dengan ibadah haji, Tlis Sa’id Hawwa dalam kitab Al Islam, seseorang dapat belajar tentang banyak hal, terutama tentang persaudaraan Islam (Ukhuwah Islamiyah), persamaan manusia (al musawah) dan persatuan umat.
Dengan haji pula seseorang dapat belajar tentang perjuangan, kesabaran, kesedihan untuk berkorban tanpa pamrih, toleransi dan kepedulian terhadap sesama. Dalam al Qurab, kepada setiap Hujjaj (pelaku ibadah haji) Allah Swt mengingatkan,”barangsiapa menetapkan niatnya untuk mengerjakan haji pada bulan itu, maka ia tak boleh ‘rafats’,fasuq dan jidal’ dalam melaksanakan ibadah haji’.”(QS Al Baqarah:197).
Menurut pendapat banyak mufassir, setiap pelaku ibadah haji, berdasarkan ayat tersebut di atas, dilarang keras melakukan tiga hal. Pertama, mengeluarkan perkataan yang keji dan kotor atau perkataan tak senonoh yang mengundang birahi (rafats). Kedua, melakukan kejahatan dan berbagai tindakan yang menentang dan melawan hukum-hukum Allah (fusuq). Ketiga, menciptakan permusuhan di antara sesama manusia dengan membanggakan diri dan merendahkan orang lain (jidal).
Menurut Imam Al Ghazali, makna terpenting dari larangan yang terkandung dalam ayat tersebut diatas, ialah terwujudnya kualitas-kualitas moral (Akhlakul Karimah) bagi para pelaku haji itu sendiri.
Kualitas moral itu tidak saja harus dijaga pada waktu menunaikan ibadah haji di tanah suci, tetapi juga harus diupayakan untuk tetap wujud dan actual pada saat kembali ke tanah air. Dan inilah salah satu pertanda ‘haji yang mabrur’. Disamping itu, pada hakikatnya haji merupakan gladi resik (laliham) untuk kembali kepada Allah.
Kita ingin bersimpuh di rumah Nya yang suci, kita ingin membasahi pipi kita dengan tangisan, maghfirah ampunan Allah. Mabrurnya haji tidak diukur dari cara memperoleh bekal, tidak juga dari tempat tinggal atau dari tingkat kepayahannya dalam melaksanakan haji. Haji adalah perjalanan rohani dari rumah-rumah yang selama ini mengundang kita menuju rumah Tuhan.
Haji yang mabrur adalah haji yang berhasil mencampakkan sifat-sifat hewaniyah dan menyerap sifat-sifat rabbaniyah/ketuhanan. Ketika Abu Bashir terpesona mendengar gemuruh zikir orang-orang yang melakukan tawaf, Ja’far as Shidiq mengusap wajahnya. Abu Bashir terkejut karena ia kemudian menyaksikan banyak sekali binatang disekitar Baitullah. Dia sadar bahwa zikir saja tidak cukup untuk criteria mabrur masih diperlukan tranformasi spiritual.
Kepada as Syibli yang baru kembali dari melakukan ibadah haji, Zainul Abidin, seorang sufi besar dari keluarga Nabi Saw bertanya kepadanya, “…ketika engkau sampai di miqat dan menanggalkan juga pakaian kemaksiatan dan mulai menggenakan busana ketaatan? Apakah engkau tanggalkan riya, kemunafikan, dan syubhat? Dan ketika engaku berihram apakah engkau bertekad mengharamkan atas dirimu semua yang diharamkan Allah? Ketika engkau memasuki masjidil haram apakah engkau berniat untuk menghormati hak-hak orang lain dan tidak akan menggunjing sesama? Ketika engkau sa’I, apakah engkau merasa sedang lari menuju Tuhan diantara cemas dan harap? Ketika wuquf di Arafah, adakah engkau merasakan bahwa Allah mengetahui segala kejahatan yang engkau sembunyikan dalam hatimu? Ketika engkau berangkat ke Mina, apakah engkau bertekad untuk mengganggu oran glain dengan lidahmu, tanganmu dan hatimu? Dan ketika engkau melempar jumrah, apakah engkau berniat memrangi iblis selama sisa hidupmu? Ketika untuk semua pertanyaan itu, as Syibli menjawab ‘tidak’, Zainal Abidin mengluh “Akh! Engkau belum miqat, belum ihram, belum thawaf, belum sa’I, belum wukuf, dan belum sampai ke Mina. As syibli menangis. Pada tahun berikutnya dia berniat akan merevisi manasik hajinya.
Selamat menunaikan ibadah haji wahai dhufur Rahman, semoga Allah selalu menyertai dan menjadikan haji yang mabrur.