ENCIKEFFENDYNEWS.com
“…Akan datang suatu zaman menimpa umatku. Kaum hartawan pergi haji untuk bertamasya, kaum menengah pergi haji untuk mencari keuntungan, kaum penggede pergi haji untuk gengsi, dan kaum miskin pergi haji untuk meminta-minta.”(Al Hadist)
Perjalanan ibadah haji bisa juga dikatakan sebagai perjalanan memenuhi panggilan Nabi Ibrahim, atas perintah Allah. (QS Al Hajj: 27). Panggilan itu diteruskan oleh Nabi Muhammad Saw beliau bersabda, “Wahai manusia, Allah telah mewajibkan untuk melaksanakan ibadah haji, kalian harus melaksanakannya.” (HR Muslim).
Seseorang yang pergi haji, harus menetapkan dalam hatinya bahwa tujuan ibadah itu semata-mata memperoleh kebahagiaan Ilahiyah serta anugrah yang kan diraihnya dihari kemudian. Tidak seharusnya seseorang calhaj memiliki motif-motif lain, sebagaimana yang disebutkan Hadist di atas.
Allah berfirman, “Barangsiapa mengejar kemegahan dunia dan kemasyarakatannya, Kami beri ganjaran atas perbuatannya dan mereka tidak dirugikan di dalamnya. Tetapi di akhirat nanti bagian mereka tinggalah api neraka. Tidak berguna hasil pekerjaannya di dunia. Dan sia-sialah amalnya.” (QS Hud: 15-16)
Kita harus menempatkan ibadah haji sebagaimana panggilan ketakwaan. Diharapkan orang yang pergi menunaikan ibadah haji atau orang yang bergelar haji bisa semakin takwa dalam cara hidupnya. Dengan kata lain, kita harus budayakan takwa dalam kehidupan sehari-hari.
Membudayakan takwa, berarti dinilai dari kesadaran dan pemahaman kita masing-masing. Tidak dapat dipaksakan terhadap siapapun, melainkan hanya dapat dimasyarakatkan agar hidup dan tumbuh subur dalam masyarakat, menjadi pandangan yang dihayati dalam sikap dan perilaku. Intinya, adalah bersikap dan berperilaku mulia sebagaimana yang dipesankan Al Qur’an.
Pembudayaan takwa merupakan hal yang sangat penting, mengingat nilai takwa itu menurut Al Qur’an adalah sebuah dasar kemanusiaan yang menyatukan berbagai warna kulit, etnis, ras dan berbagai macam lainnya dalam satu keluarga Allah.
Allah menjelaskan,”Kami menciptakan kamu dari pria dan wanita dan membuat kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling takwa diantara kamu.” (QS Al Hujarat: 133).
Di sini Al qur’an meletakkan criteria yang paling objektif dalam hubungan antara bangsa, ras, suku maupun hubungan individu, yaitu takwa. Criteria ini menjadikan hidup lebih dinamis, karena membuat orang yang berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan (Fistabikhul Khairat).
Ketakwaan, sebagai ajaran dan cita-cita secara konsisten perlu kita kembangkan dan para jamaah haji sebagai lapisan masyarakat yang relative tergolong lebih mampu dari yang lain diharapkan tampil sebagai pelopornya yaitu mempelopori tradisi-tradisi mulia ditengah-tengah masyarakatnya.
Format pergerakannya telah diajarkan dalam Al Qur’an yaitu: ta’awanu’alal birri wattaqwa, mendorong terciptanya iklim kerja sama atas dasar kebaikan dan takwa, sehingga kehidupan social, budaya dan ekonomi berjalan dengan lebih baik penuh dengan nuansa kejujuran, keadilan dan penghargaan terhadap pengetahuan.
“Alhajju Arafah” demikian ungkapan Rasul Saw, untuk mengingatkan jamaah bahwa wukuf di padang Arafah adalah salah satu rukun haji yang mesti dikerjakan oleh setiap jamaah haji. Momentum yang amat penting dari rangkaian pelaksanaan manasik haji dan mengingatkan kita pada saat Nabi Muhammad Saw menyampaikan pesan-pesan kepada umat pada haji wada’ (Haji Terakhir).
Begitu pentingnya pesan-pesan Nabi itu, sehingga beliau minta kepada yang hadir untuk menyampaikan kepada yang tidak hadir, pesan itu antara lain,”Wahai manusia sekalian, dengarkanlah kata-kata ini dan perhatikan! Setiap muslim adalah saudara, buat muslim yang lain dan kaum muslim semua bersaudara. Seseorang tidak dibenarkan mengambil sesuatu dari saudaranya, kecuali jika dengan senang hati diberikan kepadanya dan janganlah kamu menganiaya diri sendiri.”
Pesan seperti ini, di era sekarang ini perlu kita hayati dalam rangka usaha kita mempersatukan kekokohan hidup berbangsa dan bernegara yang sedang porak-poranda diterpa berbagai badai krisis kehidupan.
Hari Arafah, hari pengampunan. Hari dipertemukannya kembali Adam dan Hawa, setelah berpisah selama sekitar 200 tahun. Hari kejayaan manusia. Kemudian, Rasul meneruskan pesannya, “Sesungguhnya darahmu, harta bendamu dan kehormatanmu adalah suci atas kamu seperti sucinya hari ( hajimu ini, dalam bulanmu bulan suci Dxulhijah) ini dan negeri (tanah suci) ini”.
Pesan Arafah seperti yang tersebut di atas sangat menekankan pada prinsip-prinsip kemanusiaan yang harus dijaga dan dihormati. Pesan ini sejalan dengan ajaran dan doktrin Al Qur’an yang menegaskan bahwa setiap pribadi (individu), manusia harus dihormati hak-haknya karena setiap pribadi itu mempunyai nilai (universal) (QS Al Maidah 27-32).
Pesan-pesan yang disampaikan Nabi Saw di Arafah ini, dikenal sebagai hak-hak asasi manusia (HAM) yang mendahulukan semua deklarasi HAM yang pernah dikenal di dunia barat.
Islam seperti yang pernah dinyatakan oleh filosof Muslim Prancis, Roger Graudy, memiliki pandangan dan visi yang mengagumkan mengenai HAM. Tapi sayang, lanjut Graudy, pandangan ini pernah dirusak oleh berbagai deviasi dan penyimpangan yang terjadi dalam sejarah Islam, baik dalam bentuk despotisme politik maupun dalam bentuk pemahaman yang rigid dan dangkal terhadap sumber-sumber Islam, terutama Al Qur’an dan As Sunnah (Human Raight and Islam hal 46-60).
Agak ironis memang, bila umat Islam yang memiliki ajaran yang begitu memuliakan HAM seperti terlihat dalam pesan-pesan Arafah, pada kenyataannya justru diidentifikasi sebagai umat yang paling banyak pelanggaran HAM. Kita tampaknya perlu terus meningkatkan pemahaman dan kesadaran baik hidup sebagai pribadi maupun sebagai social dan lebih-lebih dalam kehidupan multi partai seperti sekarang ini.
Barangkali, inilah makna dan pesan Nabi Saw yang diutarakan secara berulang-ulang disela-sela pidatonya di Padang Arafah beliau bersabda, “Ingat hendaklah orang yang hadir diantara kamu menyampaikan pesan ini kepada yang tidak hadir.”
Wukuf di Padang Arafah, merupakan saat yang paling mendebarkan dan mengharukan. Dengan pakaian ihram yang serba bersahaja, para jamaah haji tidak ada sikap batin yang berpura-pura. Yang ada hanya kejujuran hati, mengharapkan ridha dan maghfirah Ilahi.
Penyesalan dan harapan akan ampunan Allah mendominasi batin setiap jamaah. Maka tidak jarang disela-sela talbiyah, tahmid dan istighfar terdengar isak tangis jamaah yang menyesali dosa-dosanya.
Suasana terang benderang dan kejujuran wukuf di Padang Arafah memberi pelajaran berharga bagi setiap jamaah. Mereka diajarkan menyikapi hidup dan kehidupan ini dengan jelas, terang dan jujur. Sebab kejujuran pada diri merupakan inti kebahagiaan dan keselamatan hidup.
Pada saat itulah menurut Rasul Saw, Allah Swt menyampaikan kepada malaikatNya tentang jamaah dengan firmanNya,” Hamba-hamba Ku datang dengan rambut kusut, dan penuh debu, dari sudut-sudut negeri yang jauh, tiba disini mengharapkan ridha, ampunan dan syurgaKu. Sekiranya dosamu sebanyak bilangan pasir, atau sejumlah butiran hujan dan kamu memohon ampunan Ku. Aku akan mengampuninya. Berangkatlah haji hamba Ku dengan ampunanKu atasmu. Wallahu a’lam bisshawab!.