ENCIKEFFENDYNEWS.com

Umar bin Khattab dikenal sebagai pemimpin yang tegas. Dia sangat terbuka dan siap menerima pengaduan rakyat, kapan dan di mana saja.

              Ia sering tidur di bawah pohon kurma saat matahari bersinar terik. Di tempat itu ia pernah didatangi tamu yang menanyakan tempat tinggal khalifah. Umar berkata, dialah orang  yang dicari. Tamu itu terhenyak. “Bagaimana mungkin seorang khalifah tidur di bawah pohon kurma tanpa pelindung apa-apa?”

              Di bawah pohon  itu juga ia menerima rakyat yang datang mengadu. Tapi ia juga tak segan keluar masuk kampong untuk menyaksikan sendiri bagaimana kehidupan rakyatnya saat ia menjadi kahlifah.

              Suatu hari ia didatangi seorang pemuda miskin yang datang dari desa. Tujuannya ke kota hanya untuk menemui Khalifah.

              “Di mana rumah Umar, si Khalifah?”ujarnya kepada setiap orang yang ditemuinya di kota. Maka ketika berjumpa dengan orang yang dicarinya, ia langsung berkata, “Wahai Umar, enak sekali menjadi pemimpin. Punya pedang bagus, punya pegawai, rumah yang bagus, kuda tangguh, dan dikawal ke mana pun Anda pergi. Jika begitu, saya juga mau jadi khalifah. “Mulutnya bicara sinis. Matanya berkilat tajam menyiratkan kemarahannya.

              Menghadapi pemuda yang gusar itu, Umar ra yang kerap menangis saat melihat rakyatnya ada yang kelaparan bicara dengan lemah lembut. “Jadi, apa yang kau inginkan, hai anak muda.”

              “Saya ingin jadi pemimpin”.

              “Benarkah, kamu ingin menjadi pemimpin,cobalah!”

              Maka pemuda itu dibaringkan di atas meja dengan tangan dan kaki terikat. Di atasnya tergantung puluhan pedang yang hanya diikat seutas benang yang bisa putus hanya dengan tiupan angin. Pedang itu berayun-ayun.

              Pemuda itu gemetar. Apalagi satu dua pedang itu mulai jatuh di kaki dan tangannya. Wajahnya menjadi pucat. Sebuah pedang jatuh  di sela-sela kakinya. Satu pedang jatuh di tangannya dan sebuah lagi sempat menggores daun telinganya. Ia menangis seraya meminta maaf.

              “Ampun, Khalifah. Saya tak lagi berniat jadi pemimpin”. Begitulah rasanya, kata Umar. Menjadi khalifah, kata Umar, sama seperti yang Anda rasakan kala berbaring di atas meja dengan pedang siap menghunus. “Aku cemas dan takut tak bisa berbuat adil, khawatir masih ada yang kelaparan saat aku memimpin, takut tak mampu menepis godaan dan takut tak bisa memimpin negeri ini dengan baik seperti yang kamu takutkan kala pedang  itu berayun-ayun. Jika aku melakukan kesalahan, bukan hanya berdosa kepada Tuhan, tapi juga kepada rakyat.”

              Si pemuda manggut-manggut. Tahulah ia siapa yang ia hadapi saat itu. Umar memang bukan pemimpin sembarangan.

              Islam memang mengajarkan agar tidak menolak jika dipercaya memegang suatu jabatan. Tapi alangkah mulia apabila dalam hati mereka yang ditunjuk menjadi pemimpin itu tertanam niat untuk membuat rakyat lebih sejahtera, tekat untuk berbuat adil, tidak zalim dengan cara memperkaya atau mengutamakan keluarga sendiri.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Post Navigation