ENCIKEFFENDYNEWS.com
Rasulullah Saw bersabda, “Wahai manusia, sesungguhnya telah hancur kaum sebelum kamu, karena mereka membiarkan (tidak menghukum) para pejabat yang mencuri, tetapi jika yang mencuri adalah rakyat jelata, maka mereka dengan tegas menegakkan hukum atas mereka.” (HR Muttafaqun ‘alayh dari Aisyah ra).
Ketika Usamah bin Zaid diperintah Nabi untuk memotong tangan seorang wanita ningrat yang mencuri perhiasan, maka ia memintakan grasi (syafa’at) kepada Nabi agar si pencuri dibebaskan dari hukuman. Mendengar permintaan Usamah tersebut, tiba-tiba Nabi berdiri lalu berpidato di hadapan manusia dan bersabda sebagaimana hadist di atas, bahkan Beliau menambahkan, “Dan aku bersumpah kepada Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, sungguh Muhammad yang akan memotong tangannya.”
Subhanallah, kita sangat takjub mendengar kepastian hukum yang diajarkan Islam yang disampaikan oleh Rasulullah Saw. Dan, beliau sendirilah yang akan menjadi contoh teladan melaksanakan hukum tersebut jika putrid kesayangannya, Fatimah benar-benar mencuri. Kepastian hukum inilah yang membuat jera para pelaku pencurian dan sejenisnya.
Ketidakjelasan hukum sama saja membiarkan kejahatan it uterus berlanjut dan tak akan mampu dihentikan sama sekali. Seseorang yang melakukan tindak criminal mencuri dalam batas minimal akan mendapat hukuman potong tangan, maka sekurang-kurangnya ada tiga hikmah yang dapat dipetik oleh si pelaku:
Pertama, si pencuri akan merasa malu kepada orang lain dimana pun ia berada karena tangannya terpotong. Sehingga dengan rasa malu yang kuat tersebut akan menghindarkan dirinya dari perbuatan jahat lainnya, terutama jika mau mencuri lagi.
Kedua, si pencuri tidak akan bisa mencuri dengan tangan yang sama. Dengan demikian, kemungkinan besar jika ia ingin mencuri lagi, maka maksimal hanya terjadi dua kali saja. Setelah itu ada kemungkinan besar ia akan bertobat dengan sungguh-sungguh, kecuali kedua kakinya beralih fungsi menjadi tangan, seperti itu mustahil.
Ketiga, si pencuri dengan sendirinya akan merasa jera karena dampak dari hukuman potong tangan tersebut sungguh sangat menggelisahkan. Setidak-tidaknya sebelum mencuri, dia terpaksa harus mempertimbangkan masak-masak, apabila nanti tertangkap maka habislah riwayat kedua tangannya. Itu berarti, ia tak dapat lagi seperti orang lain yang memiliki kedua tangan dengan sempurna. Kalau dia benar-benar berakal sehat, pasti dia tak mau mempertaruhkan nasib kedua tangannya dengan untung-untungan mencuri.
Islam memberikan batas minimal bagi sahnya hukum potong tangan, yakni empat dinar atau tiga dirham (HR Muttafaqun ‘alih). Kalau dikonversikan dengan mata uang sekarang kira-kira Rp. 40.000. Kalau yang dicuri berupa barang atau perhiasan, maka tinggal dikonversikan dengan nilai uang yang berlaku.
Tapi hukum Islam ini sekarang tinggal kenangan. Sedangkan di negeri yang mayoritas penduduknya muslim, hukum potong tangan seperti halnya cambuk, rajam bagi pezina, sering mendapat kecaman pedas karena dianggap tidak manusiawi. Mereka menyangka bahwa hukum yang datangnya dari Pencipta manusia ini tidak manusiawi. Jadi yang manusiawi adalah hukuman penjara yang dikarangnya sendiri. Padahal semua orang yang sehat akalnya menghendaki agar kejahatan tersebut enyah dari muka bumi. Mungkinkah harapan itu terwujud tanpa memberlakukan hukum dari Pencipta alam semesta ini.