ENCIKEFFENDYNEWS.com Dalam sejarah, begitu mudah kita temukan sosok-sosok “pemfitnah Allah” ini, sebut saja umpamanya Fir’aun, Haman, Qorun, Karl Marx, Nietzsche dan yang lainnya. Namun, itu adalah indikasi orang yang “protes” kepada Allah tanpa ilmu, tanpa petujuk, tanpa kitab (suci) yang menerangi (Qs. Al-Hajj [22]: 30).
Fir’aun, sebagaimana yang direkam oleh Al-Quran menyatakan:
“Wahai kaumku, bukankah kerajaan Mesir ini kepunyaanku dan (bukankah) sungai-sungai ini mengalir di bawahku; maka apakah kamu tidak melihat(nya)?” (Qs. Az-Zukhruf [43]: 51).

Ketika Allah memberikan tawaran kepadanya (lewat rasul-Nya Musa) untuk membersihkan dirinya dari kesesatan dan diseru kepada jalan Tuhan: agar ia takut kepada-Nya. Bahkan, Musa memberikan mukjizat yang besar kepadanya. Ia malah mendustakannya dan mengumpulkan “hamba-hamba” paksaaannya dan berkata: “Wa ana rabbukum al-a’laa” (Akulah tuhanmu yang paling tinggi”) (Qs. An-Naazi`aat [79]: 18-24).

Haman, adalah seorang teknokrat Fir’aun yang tidak tahu kebesaran Tuhannya. Ia dibodohi oleh Fir’aun untuk membuat tangga-tangga ke atas langit: untuk melihat Tuhan Musa. Seharusnya ia lebih tahu akan kemampuannya: tidak bisa melakukan itu. Bukankah Fir’aun, sebagai “tuhannya”, juga tidak bisa membuatnya? Tapi memang maksud mereka (hanya) ingin “memfitnah Allah”, jadi segala hal seolah-olah mungkin untuk dikerjakan. Qorun, adalah konglomerat yang tidak tahu bersyukur. Kemewahan dan kekayaan yang dimilikinya malah menjadikan dia sebagai “pemimpin” para konglomerat yang tidak mau berzakat; tidak menyantuni fakir-miskin, panti-panti asuhan dan panti jompo. Karena mereka diajarkan oleh Qorun bahwa orang-orang yang miskin itu disebabkan oleh perbuatan mereka: malas untuk mencari rezeki dari Allah. “Mana mungkin kami berikan harta kami dengan cuma-cuma? Harta ini kan milik kami, jerih-payah kami, hasil keringat dan banting-tulang kami. Maka wajar dong kami menikmatinya”. Itulah mungkin yang biasa dikatakan oleh “keturunan” Qorun hingga hari ini, dan hingga hari Kiamat tiba.
Tentu lain lagi dengan Karl Marx. Ia memfitnah Allah dengan mendustakan agamanya. Ia ke mana-mana mengkampanyekan bahwa agama adalah ‘candu’ dan ‘opium’ masyarakat. Maka berduyun-duyunlah orang meninggalkan agama. Pada gilirannya orang-orang itu mengikuti slogan Nietzsche: “Tuhan sudah mati!” Memang, pada awal abad kesembilanbelas, ateisme benar-benar telah menjadi agenda. Kemajuan sains dan teknologi melahirkan semangat otonomi dan independensi baru yang mendorong sebagian orang untuk mendeklarasikan kebebasan dari Tuhan. Inilah abad ketika Ludwig Feurbach, Karl Marx, Charles Darwin, Friedrich Nietzsche, dan Sigmund Freud menyusun tafsiran filosofis dan ilmiah tentang realitas tanpa menyisakan tempat buat Tuhan. Bahkan pada akhir abad itu, sejumlah besar orang mulai merasakan bahwa sekiranya Tuhan belum mati, maka adalah tugas manusia yang rasional dan teremansipasi untuk membunuhnya, demikian ungkap Karen Amstrong dalam A History of God-nya.  

bersambung, …………..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Post Navigation